GHSNEWS.ID | JAKARTA — Ketua PN AMK, Andra Bani Sagalane, SH, MH menilai Putusan PN Jakpus tentang penundaan Pemilu 2024 belum bisa dijadikan acuan unyuk penunda Pemilu.
Pandangan saya, pasca Putusan PN Jakpus terkait Penundaan Pemilu yang sedang ramai di perbincangkan, Ada asas hukum yang berbunyi Res judicia pro veritet habetur, yang artinya Putusan Hakim dianggap selalu Benar.
Demikian disampaikan Ketua PN AMK, Andra Bani Sagalane, SH, MH menanggapi isu terkini terkait Putusan PN Jakpus, hari ini.
Karenanya, lanjut Andra, putusan hakim terhadap suatu hal yang belum ada aturan hukumnya, bisa menjadi Salah satu sumber hukum di Indonesia yang sejajar dengan sumber2 hukum lainnya seperti Peraturan Perundang-undangan dari mulai UUD, Tap MPR, UU/Perpu, PP, Perda, Pergub, serta juga pendapat Para Ahli yang disebut Doktrin. Putusan hakim yang bisa menjadi Sumber Hukum Indonesia biasa kita sebut dengan Yurisprudensi Hakim.
Dosen Hukum STIH Painan ini menambahkan, dalam sejarah Republik kita belum pernah ada putusan hakim yang memutuskan tentang Penundaan Pemilu, karena mungkin hakim2 sebelumnya tidak berani melawan Pasal 22E Konstitusi kita yang menyatakan, bahwa Pemilu diadakan 5 tahun sekali.
"Namun karena UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sebagai turunan dari Pasal 22E UUD 1945 membuka peluang itu, bahwa bisa saja ada penundaan Pemilu karena sebab tertentu, maka Hakim PN Jakpus kemarin berani mengeluarkan putusan tersebut. Namun apakah putusan hakim tersebut sudah menjadi sebuah Yurisprudensi atau sumber hukum untuk kita patuhi???
Tentu belum, karena ternyata KPU melakukan Banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Sementara Putusan hakim baru bisa menjadi Yurisprudensi jika berkekuatan hukum tetap (inkrah)," ujarnya.
Oleh sebab itu, masih menurut Andra, sehingga belum harus dipatuhi oleh para stakeholder penyelenggara pemilu.
Ia berharap, Hakim Pengadilan Tinggi nantinya berani membatalkan putusan PN Jakpus tersebut mengingat situasi sosial hari ini bahwa pantarlih sudah bekerja siang malam membenahi data pemilih untuk persiapan pemilu 2024, kemudian KPU sebagai Pihak Tergugat juga sudah menyelenggarakan tahapan2 Pemilu dengan runut demi menyukseskan Pemilu 2024, dan bahwa Amanah dari Konstitusi adalah Pemilu diselenggarakan setiap 5 tahun.
Dan Karena Komisioner KPU bukan lembaga hasil produk murni presiden, tapi produk dari 2 lembaga negara, DPR sebagai lembaga yang memilih Komisioner dan Presiden yang melantiknya sebagai Kepala Negara, bukan sebagai Kepala Pemerintahan, maka keputusan KPU terkait apapun justru salah jika digugat di kompetensi PTUN, karena memang KPU bukan Lembaga TUN. Kecuali dia produk Presiden murni seperti kementerian, maka hasil keputusan menteri atau bawahannya digugatnya di PTUN.
Dikuatkan lagi dengan aturan dalam UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, bahwa Parpol juga bisa melakukan berbagai gugatan ke Pengadilan. Tidak menutup kemungkinan juga untuk ke Pengadilan Negeri (Pasal 32).
"Dan logika hakim pengadilan negeri, mereka tidak memperdulikan dampak secara umum pasca keluarnya putusan mereka, yang jelas mereka memutus menang dan kalah bagi para pihak yaitu penggugat atau tergugat. Sama halnya seperti Pengadilan Negeri yang pernah memutus ijin Kerja perusahaan Nikel di kolaka. Hakim gak perduli bahwa setelah perusahaan itu tutup, akan banyak pegawai yang dirumahkan oleh perusahaan itu sejak terbitnya putusan hakim tersebut," katanya.
Dalam kesempatan ini, Andra mengajak warga masyarakat berdoa semoga hakim PT DKI Jakarta nanti menolak putusan hakim PN Jakpus tersebut. Karena andai pemilu kali ini sampai ditunda, kemungkinan dampak negatifnya akan luar biasa. Dan bukan tidak mungkin warga kita di duren sawit juga akan marah dan demo dimana2. Demikian ditegaskan Andra Bani Sagalane, SH, MH, Ketua PN AMK. (*)