GHSNEWS.ID | BALI — Hingga saat ini masih tidak jelas siapa sebenarnya yang menjadi dalang paling atas pengaspalan lahan milik Siti Sapura alias Ipung di kampung Bugis, Serangan.
Bahkan dihembuskan isu jika pengaspalan jalan dilakukan atas dasar swadaya masyarakat. Hanya saja, justru tanpa adanya rembuk atau persetujuan dari pemilik lahan yang dalam hal ini sebagai ahli waris atas lahan seluas 7 are itu, adalah Siti Sapura.
Merunut dari awal, cerita wanita yang juga berprofesi sebagai pengacara itu dimana ada kabar dari salah satu prajuru di Desa Serangan, I Nyoman Nada ke telinganya selaku ahli waris dari Daeng Abdul Kadir menyebut bahwa lahanya diaspal karena lahan itu milik PT. BTID.
Pihak PT. BTID mengatakan bahwa lahan itu miliknya berdasarkan berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor SK.480/Menlhk-Setjen/2015. Namun hal itu terbantahkan melalui Kasatgas Polhut Tahura Agus Santoso.
Saat itu, Agus Santoso mengatakan bahwa dia tidak berani berbicara banyak karena tanah itu di luar kawasan kehutanan dan bukan kewenangan Dinas Kehutanan. Sehingga diterbitkan surat yang menyatakan bahwa tanah milik Daeng Abdul Kadir tidak masuk dalam kawasan tahura.
Setelah itu dilakukanlah penutupan jalan pada hari Rabu 9 Maret 2022. Usai penutupan jalan itu, langsung digelar rapat di kantor Lurah Serangan. Nah saat itu, Nyoman Nada menghubungi Ipung dan mengatakan bahwa tanah itu adalah milik Pemkot Berdasarkan SK Walikota Denpasar No 188.45/575/HK/2014.
Diketahui pula bahwa, SK Walikota terbit mengacu pada berita acara penyerahan tertanggal 2 Mei 2016 di Kantor Lurah Serangan. Terkait SK ini, Walikota Denpasar, IGN Jaya Negara, mengatakan akan mengecek dan meminta bagian hukum untuk mengkaji.
Tapi, hingga berita ini ditulis belum juga ada pernyataan resmi dari Pemkot Denpasar ke media terkait hasil kajian yang dimaksud Walikota. SK ini pun akhirnya terbantahkan.
"Ternyata dalam SK itu tidak mencantumkan nama Jalan Tukad Punggawa, yang ada hanya Jalan Tukad Punggawa I," beber Ipung.
Sementara lahan miliknya yang diaspal hotmix itu bernama Jalan Tukad Punggawa tidak pakai I,II dan seterusnya. Ipung kepada wartawan saat itu mengatakan ada kejanggalan antara SK dan berita acara penyerahan tanah oleh BTID. Ipung menyebut, SK itu keluar tahun 2014, sedangkan berita acara penyerahan muncul tahun 2016.
Tentang ini, Ipung heran, bagaimana mungkin SK yang katanya lahir dari berita acara penyerahan bisa keluar duluan."Emang bisa anaknya belum ada sudah dibuat akte kelahiran, aneh kan," kata Ipung saat itu yang juga mengatakan bahwa SK ini dianggapnya tidak berlaku.
Karena merasa tidak ada jawaban dan tidak ada aksi dari pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan tanahnya, Ipung lantas menghujani sejumlah pejabat dengan surat, hingga ke KPK dan Presiden RI Joko Widodo.
Tak hanya itu, Ipung juga bersurat ke Walikota dan melayangkan somasi kepada Jro Bendesa Adat Serangan, Lurah Serangan dan Camat Denpasar Selatan. Namun belum juga semua surat ini dibalas, Ipung kembali mendapat kabar dari Nyoman Nada bahwa jalan yang dibangun di lahannya itu adalah proyek swadaya masyarakat.
Nyoman Nada saat dikonfirmasi, Jumat (10/6/2022) juga membenarkan. Dikatakannya, pengaspalan jalan itu awalnya merupakan program dari Desa. Saat itu, dibuatlah tim yang namanya tim 9. Dan menurut Nada, beberapa anggota tim 9 saat ini sudah ada yang meninggal dunia.
Tim 9 ini, menurut Nada bekerja dengan mencari aspal. "Dulukan masih aspal yang pakai drum itu, akhirnya dibuatlah jalan. Ya begitu, cuma waktu itu jalan itu pakai aspal gitu kan tidak kuat lama," ungkapnya.
Sementara soal pembebasan lahan khususnya lahan milik Daeng Abdul Kadir, Nada mengatakan bahwa memang dulu tanah itu sudah ada jalan. Tapi jalan itu memang dikatakan Nada adalah tanah orang (Ipung). Padahal masih menurut Nada tanah itu bukan jalan umum, tapi tanah orang.
Dikatakan pula bahwa, meski tanah itu ada pemiliknya, tapi pada saat dilakukan pengaspalan Nada mengatakan tidak ada yang merasa keberatan."Jadi waktu diaspal pertama dengan aspal drum itu tidak ada yang protes, dan jalan itu diaspal sebelum eksekusi," jelasnya lagi.
Pernyataan Nada ini mendapat bantahan keras dari ipung. Ipung menilai Nada plin plan, tidak jujur dan berkata bohong demi menyelamatkan kepentingan yang lebih besar. Menurut Ipung, Nada bukan saja sebagai prajuru desa adat serangan, dia juga Humas PT. BTID.
“Pernyataan Nada yang mengatakan bahwa saat tanah itu di aspal menggunakan drum tidak yang keberatan; pesan saya buat kamu Nada sejak tahun 2009 sampai tahun 2020 tanah tersebut adalah menjadi “TANAH SENGKETA” apakah di benarkan ada pihak-pihak yang berani masuk atau mengakui atau mengalihfungsikan tanah tersebut disaat proses hukum belum selesai,” tegas Ipung.
Dirinya juga meminta kepada para pejabat di Lingkungan Pemkot Denpasar untuk tidak “memprovokasi masyarakat serangan.” Mereka (warga serangan) adalah teman-tema saya dan saudara saya. Tolong pertanggungjawabkan apa yang pernah bapak-bapak katakan bahwa tanah itu adalah milik Pemkot berdasarkan SK Walikota Denpasar No 188.45/575/HK/2014,” pinta Ipung.
Harapnya agar mentaati atau patuhi semua putusan pengadilan dari tahun 1974 sampai 2020, mulai dari putusan Pengadilan Negeri sampai putusan Mahakamah Agung.